Samarinda – Dinamika politik terkait pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) menjadi sorotan akademisi dan pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Menurutnya, PSU biasanya dilakukan karena force majeure atau karena ditemukan bukti-bukti yang membuat proses pemilu tidak sah.
“Bisa karena adanya kecurangan, kelalaian petugas, dan hal-hal yang membuat proses pemilu tidak sah. Namun, PSU hanya bisa diputuskan oleh KPU kabupaten/kota,” jelas Herdiansyah Hamzah kepada Timeskaltim.com.
Ia juga menyoroti masalah aplikasi Sirekap milik KPU. Menurutnya, masalah yang muncul terkait Sirekap sebagian besar akibat kesalahan penyelenggara, yaitu KPU.
“Pihak penyelenggara seharusnya memastikan bahwa Sirekap telah siap digunakan. Harus diuji coba secara simultan agar semakin siap dan sempurna, karena semua pihak ingin transparan dan terbuka. Namun, soal kerawanan pasti selalu ada,” tambahnya.
Lebih lanjut, Herdiansyah menyatakan bahwa anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) berisiko mendapatkan sanksi pidana jika terbukti melakukan kelalaian dengan sengaja tidak membuat dan menandatangani berita acara kegiatan.
“Berita acara kegiatan pemungutan dan penghitungan suara, serta sertifikat rekapitulasi suara harus dibuat dan ditandatangani dengan baik. Jika tidak, mereka bisa diancam pidana dengan hukuman paling lama satu tahun penjara,” tutupnya.
Dengan sorotan ini, diharapkan penyelenggara pemilu dapat lebih berhati-hati dan transparan dalam melaksanakan tugasnya, menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia.